Austin-Sparks.net

Tangan Kekuasaan Tuhan

oleh T. Austin-Sparks

Bab 3 – Dasar Penyataan Tangan Kekuasaan

Dalam pasal lima puluh tiga dari Yesaya ini (yang dengannya kami menyertakan tiga ayat terakhir dari pasal 52), kami percaya dapat ditemukan pemikiran-pemikiran Ilahi, hukum-hukum Ilahi, prinsip-prinsip Ilahi tertentu, yang memiliki penerapan yang kekal dan universal, yang pada apa Tangan Kekuasaan Tuhan dapat dinyatakan. Kita melanjutkan penyelidikan kita untuk menemukan apa pikiran-pikiran Ilahi ini. Ada hal-hal tertentu yang terbentang jelas di permukaan, sebagaimana kita memiliki catatannya di hadapan kita.

Sikap Manusia terhadap Hamba

Pertama-tama, satu hal yang sangat nyata adalah perbedaan antara sikap manusia dan sikap Allah terhadap Hamba Tuhan yang menderita ini. Kedua sikap ini didefinisikan dengan sangat jelas, dan mewakili dua alam yang sama sekali berbeda. Apa yang dikatakan tentang sikap atau penilaian manusia tentang Yang Satu ini – ‘Hamba-Ku’ – terbagi menjadi dua bagian: pertama, sikap orang-orang bukan Yahudi; kedua, sikap Israel.

(1) Orang-Orang Bukan Yahudi

Reaksi orang-orang bukan Yahudi, setelah mendengar berita itu dan menerima penjelasannya, ditemukan dalam ayat-ayat terakhir dari pasal 52 itu: “Seperti banyak orang akan tertegun melihat dia – begitu buruk rupanya, bukan seperti manusia lagi, dan tampaknya bukan seperti anak manusia lagi – demikianlah ia akan membuat tercengang” (sebab itulah katanya, bukan ‘terpercik’) “banyak bangsa, raja-raja akan mengatupkan mulutnya melihat dia; sebab apa yang tidak diceritakan kepada mereka akan mereka lihat, dan apa yang tidak mereka dengar akan mereka pahami.”

‘Berita’ tentang Dia (disebutkan dalam ayat berikutnya, pasal 53:1) yang telah disiarkan, telah menyebabkan bangsa-bangsa dan raja-raja terkejut. Mereka menutup mulut mereka dalam kekuatiran yang mengerikan. Deskripsi tersebut menghasilkan sikap keheranan dan ketidak-percayaan yang bodoh. ‘Siapakah yang telah menerima berita itu?’ Bukan orang-orang ini! Mereka tidak percaya – ini tidak akan pernah bisa menjadi Hamba Tuhan! Seorang yang seperti itu! ‘Apakah engkau memberi tahu kami bahwa ini adalah hamba Yahweh? – bahwa orang lemah seperti itu berdiri dalam batas persetujuan Ilahi? Tidak pernah!’ Mereka menutup mulut mereka; rahang mereka tetap. Itulah reaksi orang bukan Yahudi.

(2) Israel

(a) Tentang Hidup-Nya

Bagaimana sikap Israel? Seluruh karirnya di sini dibawa ke hadapan kita. Pertama-tama, sehubungan dengan kelahiran-Nya dan masa muda-Nya, Ia digambarkan sebagai “tunas dari tanah kering.” Ada suatu pengertian di mana ini adalah gambaran yang benar, sebab keturunan Daud tampaknya telah menjadi sangat kering; namun bangsa ini mendiskreditkan Dia dengan cara ini. “Semaraknya pun tidak ada sehingga kita memandang dia, dan rupa pun tidak, sehingga kita menginginkannya.” Tidak ada kemuliaan atau kemegahan bersinar yang terlihat dalam kedatangan-Nya ke dalam dunia ini. Siapakah Dia itu? Dari mana Dia datang? Tentu saja kita tahu lebih banyak, tetapi saudara harus ingat bahwa Matius dan Lukas menulis catatan kelahiran-Nya bertahun-tahun setelah Ia pergi ke kemuliaan. Mereka telah berusaha keras untuk melacak nenek moyang-Nya, dan untuk mengetahui semua keadaan kelahiran-Nya, dan kita memilikinya dalam cerita Injil mereka. Tapi ini bukanlah pengetahuan umum di Israel. “Selidikilah” kata mereka, “tidak ada nabi yang datang dari Galilea” (Yohanes 7:52). “Mungkinkah sesuatu yang baik datang dari Nazaret?” (Yohanes 1:46). Tidak, tidak ada pemindahan kemuliaan dan keagungan manusia ke dalam kehidupan ini secara alami; Ia dilahirkan tanpa prestise manusia. Mengenai hidup-Nya – baik, dalam uraian-nya di sini, ada lebih banyak hal negatif daripada positif; ada lebih banyak cacat daripada keuntungan. Ia “tidak tampan”, Ia tidak ada “semaraknya”; Ia tidak memiliki “rupa, sehingga kita menginginkannya.” Kita tidak boleh mencoba gambaran mental tentang rupa Tuhan Yesus, tetapi beginilah cara mereka memandang Dia. Ia memiliki warisan kesengsaraan – “seorang yang penuh kesengsaraan dan yang biasa menderita kesakitan.” Dalam hidup-Nya, sebagaimananya terkait dengan tragedi warisan dan pengalaman manusia, hanya ada kesedihan, penderitaan kesakitan dan kesengsaraan – begitulah cara mereka memandangnya; itu adalah penilaian manusia. Dalam pandangan mereka, tidak ada satu pun faktor positif tentang Dia yang akan membuktikan Dia sebagai Hamba Tuhan yang dipilih dan diurapi, Penebus dan Mesias.

(b) Tentang Kematian-Nya

Apa penilaian Israel setelah menerima ‘berita’ tentang kematian-Nya? Bagaimana Israel memandang Dia? “Tunas dari tanah kering.” Tidak ada yang indah atau menarik tentang itu: itu adalah hal yang mungkin saudara temukan di jalan dan tendang keluar dari jalan saudara. Itu adalah perkiraan mereka. “Dihina dan dihindari” – itulah penghakiman Israel. “Seorang yang penuh kesengsaraan dan yang biasa menderita kesakitan”. ‘Beritahu kami bahwa Dia adalah Mesias! Beritahu kami bahwa Dia adalah Yang Diurapi Tuhan! Beritahu kami bahwa Dia adalah Hamba Yahweh! Beritahu kami bahwa Dia adalah Penebus Israel! Tidak, tidak pernah, seribu kali tidak pernah!’ “Ia sangat dihina, sehingga orang menutup mukanya terhadap dia dan bagi kita pun dia tidak masuk hitungan.” Ini tidaklah sulit untuk memvisualisasikan gerak tubuh, sikap, ekspresi wajah-wajah ini. “Kita mengira Dia dipukul Allah …” (‘Dipukul Allah! Itulah arti dari Salib-Nya – Ia layak menerimanya! Allah telah memukul-Nya!’) “… dipukul Allah dan ditindas.” ‘Allah telah menempatkan kepada-Nya penghakiman yang layak bagi-Nya dan yang telah diperolah-Nya.’ “Orang menempatkan kuburnya di antara orang-orang fasik” – itulah, tidak diragukan lagi, apa yang akan terjadi, seandainya Yusuf dari Arimatea tidak campur tangan dan memohon tubuh-Nya dari Pilatus. Ia akan dilemparkan ke kuburan bersama dengan para penjahat.

Betapa lengkapnya gambaran yang ada di sana tentang kematian-Nya! “Dia dianiaya, tetapi dia membiarkan diri ditindas dan tidak membuka mulutnya seperti anak domba yang dibawa ke pembantaian; seperti induk domba yang kelu di depan orang-orang yang menggunting bulunya, ia tidak membuka mulutnya.” Ia seperti sesuatu untuk pembantaian – kata yang mengerikan, mengerikan! Pembantaian! “Dipukul Allah” – itulah penafsiran tentang Salib. “Dari penghukuman ia terambil.” Faktanya adalah bahwa pada saat itu penghukuman sedang dilaksanakan oleh-Nya atas para penindas-Nya: tetapi pandangan mereka adalah, ‘Ia benar-benar dirampas dari penghukuman; semua waralabanya dicabut, semua hak-Nya dihilangkan, dan memang sepatutnya demikian.’ “Sungguh, ia terputus dari negeri orang-orang hidup”: ‘Allah baru saja memutus-Nya – Allah telah melakukannya!’ Ini adalah penghakiman Israel, penghakiman manusia. Penilaian manusia tentang hal-hal Ilahi, Pribadi Ilahi dan pekerjaan Ilahi, sepenuhnya didasarkan atas pertimbangan objektif, tanpa pengetahuan apa pun tentang kenyataan batiniah.

Mengapa cara Allah yang Aneh ini?

Sekarang, ketika kita mengambil semua reaksi ini bersama, kita menemukan diri kita sendiri di hadirat jalan Allah yang dalam saat Ia bergerak menuju penyataan Tangan Kekuasaan-Nya. Betapa dalamnya jalan-jalan-Nya! Betapa misteriusnya! Betapa tak terselaminya! Dan oh, betapa mengejutkannya, ketika saudara mulai mengenali mereka! Saat kita mempertimbangkan penafsiran dan penilaian pikiran manusia ini, pikiran dunia ini tentang Dia ini yang kita kenal sebagai Anak Ilahi Allah, Penebus manusia, kita harus mengakui bahwa ini adalah jalan-jalan Allah yang dalam, sebagaimana Ia bergerak – bergerak dengan mantap, bergerak dengan tekad, bergerak dengan tegas – menuju titik penyataan Tangan Kekuasaan-Nya. Bukankah ini luar biasa, bahwa ini harus menjadi jalan-Nya?

Sekarang, dua pertanyaan muncul di sini. Pertama, mengapa reaksi universal dunia manusia ini terhadap Hamba Yahweh ini? Dari sudut pandang kita, sebagai orang Kristen, ini adalah hal yang mengherankan bahwa penilaian dan reaksi semacam itu mungkin dilakukan oleh manusia secara universal, tetapi kita tahu mereka ada di sana, itulah kenyataannya. Terlebih lagi, kita tahu bahwa itu masihlah kenyataan. Pikiran dunia ini tidak melihat apa pun yang diinginkan dalam Yang Tersalib ini.

Kedua – dan pertanyaan ini mungkin bahkan lebih dekat ke inti dan akar dari seluruh masalah ini: Mengapa metode Allah yang disengaja ini, membuat reaksi yang demikian ini di pihak manusia tak terhindarkan? Ini adalah hal yang aneh. Ini seolah-olah Allah telah berusaha keras untuk menghasilkan reaksi seperti itu dari manusia. Mengapa Allah tidak memberikan Satu “yang seluruhnya indah”, yang akan dihargai semua orang; Seorang yang akan berdiri dalam posisi penerimaan dengan semua manusia pada pandangan pertama? Mengapa Ia tidak membawa-Nya ke dalam dunia dalam kemegahan, dalam keagungan, dalam kemuliaan? Mengapa Ia tidak pada awalnya dihiasi dengan semua tanda-tanda Sorga, untuk dilihat semua orang? Mengapa Allah tampaknya sengaja mengambil garis yang akan menghasilkan reaksi semacam ini? Mereka tidak bisa dihindari. Gambarlah gambar ini, seperti yang digambarkan oleh Yesaya: “begitu buruk rupanya, bukan seperti manusia lagi” – rusak “bukan seperti manusia lagi”, dan semua detail lainnya – dan kemudian mengangkatnya dan berkata, ‘Itulah Penebusmu!’ Tampaknya Allah telah sengaja mengambil jalan untuk membuat marah dan membuat skandal.

Dan demikianlah Ia melakukannya! Tapi kenapa?

Karena Standar Nilai Manusia yang Salah

Kita semakin dekat sekarang ke titik sebenarnya. Standar nilai manusia adalah yang sepenuhnya salah, dan Allah mengetahuinya. Itu sama sekali, sama sekali salah – karena itu adalah hasil dari kesombongan manusia. Itu adalah kesombongan yang tersinggung, bukankah demikian, yang berbicara seperti ini: ‘Beritahu kami bahwa kami harus turun ke sana! Bahwa kami harus menerima itu demi keselamatan kami! Bahwa kami harus merendahkan diri sampai ke tingkat itu! Tidak, tidak akan pernah! Itu bertentangan dengan sifat manusia!’ Ya, memang, sebab sifat manusia memiliki standar nilai yang sama sekali salah, yang dihasilkan oleh kesombongan manusia. Jadi gagasan tentang Hamba yang Menderita adalah penghinaan terhadap harga diri manusia, pelanggaran dan skandal terhadap standar hal-hal manusia. Karena alasan inilah, baik orang Yahudi maupun orang bukan Yahudi tidak akan menerima berita ini – kesombongan tidak akan mengizinkannya. Kita bernyanyi:

‘Ketika aku mengamati Salib yang menakjubkan
Aku … mencurahkan penghinaan pada segala harga diriku.'

Itu seharusnya menjadi efek dari Salib. Tapi tidak. Manusia apa adanya, harga dirinya tidak akan menerima itu; dan oleh karena itu ‘Ia dihina dan dihindari’; ‘Ia tidak tampan dan semaraknya pun tidak ada sehingga kita memandang dia.’

Salib Tuhan Yesus Kristus kita melambangkan pengurangan yang dalam dari semua kemuliaan palsu. Itu langsung pergi tepat ke akar harga diri dan kepentingan diri manusia. Itu langsung pergi tepat ke akar kehidupan yang didasarkan pada prestise dan nilai manusia sendiri. Meskipun, dari sudut pandang dunia ini dan menurut standar dunia ini, seorang manusia mungkin adalah sesuatu dan memiliki sesuatu; bahkan jika, dengan kelahiran, atau dengan perolehan, dengan otak atau kepandaiannya, dengan kerja keras atau studinya, ia mungkin telah memperoleh beberapa posisi, beberapa kemuliaan, beberapa kesuksesan, beberapa prestise: jika saudara atau saya mendasarkan hidup kita, di hadapan Allah, atas hal-hal seperti itu, kita dihitung dengan mereka yang ada di sini yang benar-benar bertentangan dengan standar nilai-nilai Ilahi.

Kesombongan Manusia Dikosongkan oleh Salib

Kenyataannya adalah bahwa, ketika kita datang ke Salib, bahkan kemuliaan kita yang sah, sebagaimana dunia ini menganggapnya, akan dikosongkan – dibuang begitu saja. Lihatlah Saulus dari Tarsus – apakah ia memiliki sesuatu untuk bermegah? Ia memberi tahu kita tentang semua kelebihannya berdasarkan keturunan, kelahiran, pendidikan dan pelatihan, perolehan dan kesuksesan. Ia telah naik sampai ke puncak tangga. Apa yang ia pikirkan tentang semua itu ketika ia datang ke hadapan Salib Tuhan Yesus? Ia menyebutnya hanya ‘sampah’! Baginya, hidup tidak didasarkan pada itu sama sekali. Ia tahu betul bahwa itu ada di luar pengadilan Ilahi sebagai dasar dari pendirian apa pun dengan Allah. Dan jika saudara atau saya masuk ke dalam ‘persekutuan Anak Allah’ – Hamba Allah – dalam hati, dalam roh, dalam kebenaran, itulah cara bagaimana semua nilai-nilai alami kita akan pergi. Kita ditakdirkan untuk datang ke tempat di mana segala sesuatu yang kita miliki, baik dari sebelum kelahiran, atau saat lahir, atau sejak lahir, sebagai sesuatu yang kita banggakan, akan menjadi tidak ada apa-apanya bagi kita. Kita akan melihat bahwa hal itu selalu mengandung ancaman bagi kehidupan rohani kita, jika kita tidak terlalu berhati-hati.

Saya berbicara, tentu saja, tentang mendasarkan hidup kita di hadapan Allah atas hal semacam itu. Saya tidak mengatakan bahwa tidak ada nilai dalam hal-hal itu; tetapi jika kita harus mulai membawa mereka ke hadirat Allah, dan untuk menghitung dengan mereka, dan membuat sesuatu dari mereka, ini jelas, bukankah demikian, di dalam persekutuan siapa kita menemukan diri kita sendiri? Kita tidak diperhitungkan dengan Allah; Allah telah mendiskreditkan semua kesombongan manusia. Di dalam Salib Tuhan Yesus, Ia telah sepenuhnya memotong semua kemuliaan manusia. Gambaran yang dilukiskan di sini tentang Hamba Yahweh yang Menderita, dengan segala penderitaan-Nya, semua distorsi-Nya, semua yang begitu mengerikan, adalah potret dari apa yang dilakukan dosa – apa yang dilakukan kesombongan – di mata Allah. Begitulah cara Allah memandang manusia. Orang-orang ini yang tidak mau menerima berita ini, karena kesombongan, di sini digambarkan sebagaimana mereka itu di hadapan Allah, di dalam pribadi Manusia yang tergantung di Kayu Salib itu. Ia menanggung dosa kita, kesalahan kita, pelanggaran kita; semua kita itu ditanggungkan pada-Nya. Begitulah kita itu di mata Allah. Ia tidak dibawa ke posisi itu karena itu benar tentang Dia, tetapi karena itu benar tentang kita; itulah seluruh argumen dari pasal ini.

Tetapi ini bukan hanya kehidupan yang didasarkan pada hal-hal yang di wilayah mereka sendiri adalah sah dan benar, berdasarkan jasa dan nilai baik yang diwariskan atau diperoleh, yang tidak memiliki kedudukan di hadapan Allah, tetapi kehidupan yang didasarkan pada kepentingan yang diasumsi. Ini mungkin lebih halus, dan ini pastinya lebih mengerikan: ketika seseorang, yang tidak memiliki hak alami untuk menjadi apa pun, mulai berasumsi bahwa ia adalah sesuatu, untuk menunjukkan pentingnya diri sendiri, untuk mengambil posisi dan berdiri tegak di dalam rumah Allah itu sendiri. Sungguh bertentangannya dengan roh Hamba Tuhan ini! “Ia tidak akan berteriak atau menyaringkan suara atau memperdengarkan suaranya” (Yesaya 42:2). Tidak ada apa pun tentang Dia yang tegas, keras, berisik. Namun orang dapat mengambil posisi, bahkan di dalam rumah Allah itu sendiri, membuat diri mereka sendiri ribut dan tegas, menarik perhatian pada diri mereka sendiri. Ini adalah sesuatu yang sangat mengerikan bagi Allah.

Pemazmur berkata: “Engkau berkenan akan kebenaran dalam batin” (Mazmur 51:6). Apa yang benar tentang kita, setelah semuanya? Apa yang benar tentang saudara, apa yang benar tentang saya, di hadapan Allah? Sebab di hadapan Allah-lah segala sesuatu ditimbang dengan benar (1 Samuel 2:3). Rasul berkata: “Kasih … tidak sombong (1 Korintus 13:4). Sungguh suatu ungkapan, ‘sombong’; - penuh dengan udara dan tidak ada yang lain! Kasih tidak ‘sombong’; tidak akan ada inflasi manusia di hadapan Allah. Ketika kita datang ke hadirat Allah, kita menjadi benar-benar kempes. Selalu begitu – “Ketika aku melihat Dia, aku tersungkur” (Yehezkiel 1:28; Daniel 8:17; Wahyu 1:17).

Jadi kita melihat standar nilai manusia, dan nilai Allah dalam kontrasnya. Sungguh suatu perbedaan! Hamba yang cacat dan rusak ini adalah cara Allah menunjukkan kepada kita siapa kita itu di hadapan-Nya. Ada sesuatu yang sangat dalam di jalan-jalan Allah. Manusia telah selalu, sejak hari Kejatuhan, berusaha untuk menarik perhatian pada dirinya sendiri, untuk menjadi sesuatu dalam dirinya sendiri, untuk memiliki kemuliaan bagi dirinya sendiri; dan di jantung dari semuanya itu adalah kesombongan. Kesombongan membawa turun Iblis dari posisinya yang tinggi, dan kesombongan membawa turun manusia dari posisinya. Dan Allah telah menolak semuanya di dalam Salib Tuhan Yesus. “Kepada siapakah tangan kekuasaan Tuhan dinyatakan?” Tidak kepada siapa pun yang memiliki kesombongan apa pun tentang dirinya. Inilah prinsip-prinsip komitmen Ilahi saudara. “Tetapi kepada orang inilah Aku memandang: kepada orang yang tertindas dan patah semangatnya” (Yesaya 66:2). “Ia mengenal orang yang sombong dari jauh” (Mazmur 138:6). “Setiap orang yang tinggi hati adalah kekejian bagi Tuhan” (Amsal 16:5).

Oleh karena itu, di satu sisi, Salib Tuhan Yesus adalah pemotongan semua kesombongan kita, semua kepentingan diri kita; pemotongan hidup yang berdasarkan standar nilai yang salah. Tetapi di sisi lain, Salib adalah penyingkapan apa yang merupakan standar nilai-nilai Allah. Apa standar-Nya?

Standar Nilai-Nilai Allah

Surat Paulus kepada Jemaat di Filipi adalah surat Salib yang agung, bukankah demikian? Pasal kedua dari surat itu adalah pelengkap yang paling sempurna untuk Yesaya 53. Dengarkan bagaimana bagian dari surat ini dimulai:

“Jadi karena dalam Kristus ada nasihat, ada penghiburan kasih, ada persekutuan Roh, ada kasih mesra dan belas kasihan, karena itu sempurnakanlah sukacitaku dengan ini: hendaklah kamu sehati sepikir, dalam satu kasih, satu jiwa, satu tujuan, dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama daripada dirinya sendiri.”

Sungguh suatu tantangan! Bukankah itu akan memotong semua kritik kita, bahkan terhadap mereka yang kita rasa memiliki sesuatu untuk dikritik? Saudara itu, saudari itu, mungkin memiliki beberapa kesalahan yang sangat mencolok – tetapi, hanya Allah yang tahu, saya mungkin memiliki kesalahan yang jauh lebih buruk!

“Janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga … menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus” – Perhatikan seberapa sering kata ‘pikiran’ ini muncul – “Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib.”

Ini adalah pelengkapnya, saya katakan, dari Yesaya 53. Apa yang segera menyusul adalah pelengkap dari akhir Yesaya 52 (“Hamba-Ku … akan dimuliakan”):

“Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama …”

Apa dasar penyataan Tangan Kekuasaan Tuhan? Kepada siapakah …? Kepada mereka ini, kepada mereka ini, dijelaskan atau ditujukan dalam pasal kedua surat kepada Jemaat Filipi ini. Ketika saudara masuk ke dalam pasal ketiga, saudara menemukan daftar hal-hal yang dimuliakan manusia, yang diperhitungkan manusia, yang di atasnya manusia membangun, seperti yang dicontohkan dalam kehidupan masa lalu Paulus. Tetapi Allah pada waktu itu tidak memandang ke arahnya dengan cara persetujuan dan berkat ini; Ia tidak mengatakan, ‘Aku akan mendukung orang itu.’ Ia pertama kali bertemu dengannya dan membaringkannya rendah di debu, mematahkannya dan menghancurkannya; dan kemudian, setelah itu, Ia mengangkatnya. Prinsipnya begitu jelas. Kejahatan utama dengan Allah adalah kesombongan! Kebajikan utama dengan Allah adalah kelemah-lembutan! Jadi ini hanyalah konfirmasi dari apa yang kita miliki dalam pasal besar dalam Yesaya ini. Kepada siapakah Tangan Kekuasaan Tuhan akan dinyatakan? Kepada yang Satu ini, dan kepada mereka yang seperti Dia – kepada mereka yang memiliki ‘pikiran ini yang terdapat juga dalam Kristus Yesus.’

Tetapi tidakkah kita semakin heran, ketika kita memikirkan tentang Hamba Tuhan ini – mengetahui sebelumnya, seperti yang Ia ketahui, apa yang akan Ia alami dan derita, dan semua artinya – bersedia mengambil jalan itu, demi menebus kita dari kesombongan kita – kelaliman kesombongan kita? Akar kata ‘kelaliman’ itu dalam bahasa Ibrani berarti ‘kejahatan’. Untuk membebaskan kita dari kejahatan itu – sesungguhnya persekutuan batiniah dengan Iblis, dalam keangkuhan hatinya – bahwa Hamba Tuhan turun ke jurang degradasi! Ini memberi kita perkiraan yang benar tentang kesombongan: kita melihat apa kesombongan itu di mata Allah, serta standar nilai manusia yang sepenuhnya salah. Dan tentunya di mata kita terbuka nilai tak terbatas dari pengosongan-diri, dari ‘tidak menaruh percaya pada hal-hal lahiriah’ (Filipi 3:3), tentang ‘roh yang lemah lembut dan tenteram, yang sangat berharga di mata Allah” (1 Petrus 3:4).

Jadi, jika kita menginginkan Tangan Kekuasaan Tuhan untuk kita, dan bukan melawan kita; jika kita menginginkan penyandangnya, penopangnya, kekuatannya, di dalam hidup kita, di dalam persekutuan kita, majelis kita, dan dalam pelayanan kita – inilah dasarnya. Tidak ada apa pun yang bertentangan dengan ini yang akan mendapatkan Tangan Kekuasaan itu diangkat atas nama kita. Ia akan meninggalkan kita untuk berkubang dalam lumpur ciptaan kita sendiri, sampai, di kayu Salib, kita siap untuk ‘menumpahkan penghinaan pada semua kebanggaan kita’, dan untuk menemukan apa artinya untuk ‘mati kepada seluruh dunia’ – paling terutamanya dunia hati kita sendiri.

Sesuai dengan keinginan T. Austin-Sparks bahwa apa yang telah diterima secara bebas seharusnya diberikan secara bebas, karya tulisannya tidak memiliki hak cipta. Oleh karena itu, kami meminta jika Anda memilih untuk berbagi dengan orang lain, mohon Anda menghargai keinginannya dan memberikan semua ini secara bebas - tanpa d'ubah, tanpa biaya, bebas dari hak cipta dan dengan menyertakan pernyataan ini.