Austin-Sparks.net

Signifikan dari Pribadi dan Pelayanan Rasul Petrus

oleh T. Austin-Sparks

Bab 4 – Kembalinya Kasih Karunia

Kami lanjutkan ke bagian kecil selanjutnya dalam perkara besar ini yang telah dibukakan kepada kita mengenai perubahan dari Israel lama ke Israel baru, yang dinyatakan oleh Tuhan Yesus sendiri ketika Ia berkata kepada para pemimpin dan wakil dari Israel lama: “Kerajaan Allah akan diambil dari padamu dan akan diberikan kepada suatu bangsa yang akan menghasilkan buah Kerajaan itu” (Matius 21:43). Hal ini sebenarnya telah terjadi. Sebagaimana telah dibuktikan dengan jelas dalam sejarah selama berabad-abad terakhir, Kerajaan Allah telah diambil dari Israel terdahulu itu, dan mereka tidak memilikinya seluruhnya sampai dispensasi sekarang ini. Kerajaan Allah telah dipindahkan ke Israel baru – “suatu bangsa yang akan menghasilkan buah Kerajaan itu.”

Kita telah melihat bagaimana Petrus menjadi jembatan di antara kedua bangsa Israel itu, berdiri di celah di antara yang lama dan yang baru, dan bagaimana melalui dia, yang lama berlalu dan yang baru ditegakkan, baik di dalam diri pribadi-nya sendiri, dan apa yang dilakukan di dalam dirinya oleh Roh Kudus, dan di dalam pelayanannya. Suatu bangsa yang menghasilkan buah, buah Kerajaan Israel baru, diwujudkan, dan kita telah melihat pada beberapa buah seperti yang terlihat dalam dan melalui kehidupan dan pelayanan dari yang pertama dari kedua belas ini, Rasul Petrus.

Jika saudara memiliki keraguan apa pun tentang kebenaran hal ini, saudara hanya perlu melihat kembali kepada Surat pertamanya. Kami telah menyampaikan banyak hal-hal, yang memang benar, namun ada apa yang mengumpulkan semuanya dan menyajikannya kepada kita secara konkrit. Saudara akan menemukannya di dalam Surat pertamanya, pasal 2, ayat 4-10:

“Dan datanglah kepada-Nya, batu yang hidup itu, yang memang dibuang oleh manusia, tetapi yang dipilih dan dihormat di hadirat Allah. Dan biarlah kamu juga dipergunakan sebagai batu hidup untuk pembangunan suatu rumah rohani, bagi suatu imamat kudus, untuk mempersembahkan persembahan rohani yang karena Yesus Kristus berkenan kepada Allah. Sebab ada tertulis dalam Kitab Suci: “Sesungguhnya, Aku meletakkan di Sion sebuah batu yang terpilih, sebuah batu penjuru yang mahal, dan siapa yang percaya kepada-Nya, tidak akan dipermalukan.” Karena itu bagi kamu, yang percaya, ia mahal, tetapi bagi mereka yang tidak percaya: “Batu yang telah dibuang oleh tukang-tukang bangunan, telah menjadi batu penjuru, juga telah menjadi batu sentuhan dan suatu batu sandungan.” Mereka tersandung padanya, karena mereka tidak taat kepada Firman Allah; dan untuk itu mereka juga telah disediakan. Tetapi kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib: kamu, yang dahulu bukan umat Allah, tetapi yang sekarang telah menjadi umat-Nya, yang dahulu tidak dikasihani tetapi yang sekarang telah beroleh belas kasihan.”

(Catatlah di ayat 9: “Tetapi kamulah …” Ada peralihan ke yang baru.)

Bagian itu tidak membuat kita ragu sedikit pun bahwa yang lama telah dipindahkan ke yang baru, tetapi di dalam alam yang berbeda dan dengan kodrat yang berbeda. Petrus, yang memiliki semua tradisi Israel terdahulu, telah menyadari bahwa kini semua yang tadinya ada di sana yang bersifat sementara telah dipindahkan ke alam rohani. Sekarang semuanya bersifat rohani, dan bukan berkarakter sementara.

Ada banyak hal di sini yang akan berguna bagi kita untuk direnungkan. Kami dapat membahas keseluruhan paragraf ini sedikit demi sedikit, sebab ada begitu banyak kekayaan di dalamnya. Saya tidak bermaksud melakukan itu, namun saya ingin menunjukkan satu hal sehubungan dengan hal tersebut sebelum meneruskan kepada hal yang saya rasa merupakan firman Tuhan untuk saat ini.

Lokasi Israel Baru

Di sini Rasul berkata: “Kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib.” Apakah saudara perhatikan bahwa semuanya itu berbentuk tunggal? “Bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus.”

Di masa dispensasi lama, semuanya itu terkonsentrasi di suatu tempat di bumi ini: di Bait Suci di Yerusalem. Bahwa Israel memiliki titik fokusnya, kesatuannya, di pusat geografis itu. Bangsa yang terpilih diwakili, dikumpulkan di Yerusalem, dan fokusnya ada di sana. Bangsa yang kudus identik dengan Yerusalem, tempat perginya suku-suku tersebut. Imamat yang rajani dipusatkan di Yerusalem. Di sanalah di mana Israel pergi untuk melihat imamat, karena imamat itu berfungsi di kota raja agung. Mereka adalah ‘umat kepunyaan Allah sendiri’: satu hal, dengan fokus utama itu di bangsa-bangsa.

Sekarang, bagaimana Petrus memulai Surat pertamanya? “Dari Petrus, rasul Yesus Kristus, kepada orang-orang yang dipilih” … yang berpusat di Yerusalem? Tidak, tidak sama sekali! … “orang-orang pendatang, yang tersebar di Pontus, Galatia, Kapadokia, Asia Kecil dan Bitinia” – dan di mana pun saudara ingin menyebutkannya. Apakah saudara mengerti maksudnya? Di mana pun orang-orang ini berada, di situ terdapatkan representasi dari semua ini. Jika ini ada di mana saja di dunia, tersebar di antara bangsa-bangsa di muka bumi, maka disanalah diwakili, atau dimaksudkan untuk diwakili, segala sesuatu yang ada di sini mengenai Israel baru.

Suatu Bangsa yang Terpilih

Jika kami akan merenungkan hal itu, ini akan memakan waktu yang lama, tetapi ada satu hal yang akan kami katakan.

Saudara tahu bahwa orang-orang yang terpilih adalah sesuatu yang sangat, sangat berharga di mata Allah, sangat berharganya sehingga mereka akan diselamatkan (Matius 24:22). Dikatakan bahwa pada akhirnya “Sebab Mesias-mesias palsu dan nabi-nabi palsu akan muncul dan mereka akan mengadakan tanda-tanda yang dahsyat dan mujizat-mujizat, sehingga sekiranya mungkin, mereka menyesatkan orang-orang pilihan juga” (Matius 24:24). Logikanya, tentu saja, orang-orang pilihan tidak akan tersesatkan. Ini adalah sesuatu yang sangat berharga bagi Allah, di mana pun ini berada, namun ini bukan lagi sesuatu yang terkonsentrasi di suatu tempat di bumi ini, apakah itu di Roma, atau Yerusalem, atau di mana pun juga, tetapi ini tersebar di seluruh bangsa-bangsa. Tidak hanya ini mewakili Israel baru, namun ini juga dipanggil, dan diharapkan, untuk berfungsi di sana di dalam kapasitas ini.

Imamat yang Rajani

Imamat di Israel baru bukanlah suatu pemujaan dari laki-laki yang mengenakan jubah tertentu, melakukan ritual tertentu, dan menjalankan ibadah agama tertentu. Tidak ada jubah lahiriah yang dikenakan pada imam-imam kerajaan di Israel baru. Saudara, teman-teman yang kekasih, jika saudara termasuk dalam hal ini, saudara adalah seorang imam yang sama seperti imam-imam yang pernah ada di Israel pada zaman dahulu, dan oleh karena itu, fungsi saudara, adalah untuk “mempersembahkan persembahan rohani” untuk menjadi seorang imam yang mempersembahkan persembahan dalam persatuan dengan Raja. Imamat yang rajani adalah imamat yang memiliki kedudukan sebagai raja, memiliki pemerintahan, wewenang, keagungan Ilahi, dan dipersatukan dengan Takhta, untuk berfungsi sebagaimana mestinya.

Suatu Bangsa yang Kudus

Apakah saudara ingat tentang apa yang kami katakan tentang kekudusan? ‘Kudus’ di dalam Alkitab berarti terpisah sepenuhnya dari segala yang bukan Allah kepada semua dan hanya apa yang adalah Allah, dipisahkan kepada Allah. ‘Kudus’ dan ‘dikuduskan’ adalah kata yang sama, dengan arti yang sama – sepenuhnya milik Allah, dengan setiap kaitan lainnya terputus. Umat Allah yang kudus adalah bangsa yang kudus di antara bangsa-bangsa, tetapi berbeda dari bangsa-bangsa, suatu bangsa yang kudus di dunia, tetapi berbeda dari bangsa-bangsa. Petrus berkata: ‘Sekarang kamu bukanlah bait suci yang dibuat dengan tangan, dibangun dengan batu, menurut tatanan lama, melainkan kamu adalah rumah rohani, di mana pun kamu tersebar, dan Allah hanya melihat satu. Betapapun banyaknya bagian-bagian yang ada, dengan jarak yang sangat jauh di antaranya, Allah hanya melihat satu rumah rohani, yang terdiri dari batu-batu rohani. Yesus Kristus bukanlah berbagai-bagai batu penjuru, melainkan satu batu penjuru dari keseluruhannya.’

Di sini ada satu lagi kiasan yang luar biasa mengenai kehidupan Petrus di masa lalu pada masa kehidupan Kristus, dan ini lebih dari menarik. Kadang-kadang saya merasa bahwa kiasan-kiasan ini hampir menyentuh nada humor ketika Petrus dalam mentalitasnya mengambil semuanya dan mentransfernya. Ia berkata di sini tentang rumah rohani baru ini yang sedang dibangun di dalam dispensasi ini, bahwa ini adalah penggenapan pernyataan Perjanjian Lama: “Sesungguhnya, Aku meletakkan di Sion sebuah batu yang terpilih, sebuah batu penjuru yang mahal …”, dan kemudian ia melanjutkan: “Juga telah menjadi batu sentuhan dan suatu batu sandungan; mereka tersandung padanya.”

‘Petrus, aku akan pergi ke Yerusalem, dan di sana aku akan diserahkan ke dalam tangan orang-orang jahat. Mereka akan menyalibkan Aku …’ ‘Tidak, Tuhan, tidak akan pernah! Hal ini tidak akan pernah terjadi pada-Mu!’ “Enyahlah Iblis. Engkau suatu batu sandungan bagi-Ku.” “Mereka tersandung padanya.” Hal ini tertanam ke dalam inti kehidupan rohani Petrus itu sendiri. Bagaimana firman tentang Salib merupakan suatu batu sandungan bagi Petrus! Apa yang Paulus katakan tentang orang-orang Yahudi juga benar mengenai dirinya: “Sebab pemberitaan tentang salib memang adalah kebodohan bagi mereka yang akan binasa … kami memberitakan Kristus yang disalibkan: untuk orang-orang Yahudi suatu batu sandungan” (1 Korintus 1:18, 23). Itu merupakan suatu batu sentuhan bagi mereka, dan kata ‘batu sentuhan’ adalah, seperti yang saudara ketahui, dalam bahasa aslinya sama dengan ‘batu sandungan’. Bahasa Yunaninya adalah ‘skandal’, ‘batu sentuhan’ atau ‘batu sandungan’. Petrus jatuh tersungkur ketika Tuhan Yesus berbicara tentang Salib, dan Ia berkata: ‘Kamu telah menjadi batu sentuhan, suatu batu sandungan. Kamu adalah sebuah skandal bagi-Ku. Enyahlah engkau!’ Ah, Petrus telah berpaling kembali di sini, dan kepada orang-orang yang tidak percaya, ia berkata: ‘Rumah rohani yang baru ini seluruhnya, dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya, tidak dipercayai dan oleh karena itu kamu tersandung padanya. Kamu jatuh tersungkur atas hal ini. Ini adalah suatu batu sandungan. Firman tentang Salib adalah suatu batu sandungan. Tetapi bagi kamu yang percaya, itu berharga.’ Itulah perbedaannya antara yang lama dan yang baru.

Baiklah, saya telah mengatakan bahwa kita dapat melihat lebih banyak lagi mengenai perubahan dari yang lama ke yang baru ini – rumah baru, persembahan-persembahan baru – tetapi saya ingin memberikan sedikit waktu yang tersisa pada satu hal yang spesial di dalam Surat ini.

Kembalinya Kasih Karunia

Pertama, kita perhatikan bagaimana Petrus sendiri mewakili Israel baru ini di dalam masa transisi, dan hal yang luar biasa yang harus dilakukan untuk melakukan transisi dari yang satu ke yang lain itu. Kita telah melihat betapa besarnya transisi yang terjadi itu di dalam kasus Petrus. Kita sebenarnya hanya telah melihatnya sekilas, namun ini adalah hal yang luar biasa yang terjadi di dalam diri laki-laki ini! Lihatlah kembali kepada Petrus yang dulu, Simon Petrus sebelum apa yang Tuhan Yesus sebut sebagai pertobatannya – “jikalau engkau sudah insaf” (Lukas 22:32) – dan ingatlah kepenuhan kepribadiannya, dan ketegasannya. Jika ada orang yang akan berbicara lebih dulu, ini adalah Petrus, dan jika ada orang yang akan berbicara paling keras, ini adalah Petrus. Jika ada orang yang akan mengambil keputusan sebelum orang lain, ini adalah Petrus. Ia selalu menegaskan dirinya sendiri. “Engkau tidak akan membasuh kakiku sampai selama-lamanya” (Yohanes 13:8), dan kemudian, melihat bahwa ada kemungkinan untuk kehilangan sesuatu dan bahwa dengan mengubah sikapnya ia akan mendapatkan sesuatu yang lebih: “Tuhan, jangan hanya kakiku saja, tetapi juga tangan dan kepalaku!” … ‘Aku akan mendapatkan semua yang dapat aku dapatkan.’

Saudara lihat kekuatan ketegasan diri ini, kemandiriannya sepanjang waktu: ‘Aku tidak akan pernah meninggalkan Engkau. Meskipun semua orang meninggalkan Engkau, aku tidak akan pernah melakukannya. Aku bahkan akan mati bersama-Mu.’ Kemandirian yang luar biasa: dan kami dapat memperluas pada sisi laki-laki ini – betapa penuhnya dia itu di dalam dirinya sendiri! Kemudian lihatlah laki-laki ini dilenyapkan, benar-benar dihancurkan dan dikosongkan. Itu adalah hal yang luar biasa! Saudara hampir tidak akan percaya bahwa dalam waktu yang begitu singkat setelah membuat pernyataan-pernyataan ini, pernyataan-pernyataan yang berani dan penuh percaya diri ini, laki-laki ini akan didapatkan sama sekali tidak mampu melaksanakan apa yang ia katakan akan ia lakukan. Ia ditelanjangi, dikosongkan dari semuanya, dilenyapkan; dan kata terakhir dari adegan itu adalah: “Lalu ia pergi ke luar dan menangis dengan sedihnya.” Ia rusak, hancur, terpencil dan dikosongkan. Namun hal itu diperlukan untuk perjalanan menuju dunia baru ini, Israel baru ini, posisi rohani baru ini. Jadi demikianlah saya katakan bahwa diri Petrus sendiri adalah wakil dari hal-hal yang harus dilakukan untuk melakukan transisi dari satu Israel ke Israel lainnya.

Dengan saudara dan saya, hal ini mungkin tidak semuanya terjadi di antara pagi dan sore hari, dan ini mungkin tidak akan pernah terjadi seperti itu di dalam satu hari, tetapi, percayalah, prinsipnya tetap berlaku. Teman-teman yang kekasih, ini hanya akan menjadi dalam ukuran di mana saudara dan saya dikosongkan dari diri kita sendiri sehingga kita mengetahui arti, kuasa, kemuliaan dan betapa berharganya Israel baru dan Tuhan Yesus itu. Itulah sebabnya Tuhan bersusah payah untuk mengosongkan kita. Ini mungkin tersebar selama bertahun-tahun. Memang menurut saya ketika ini dimulai, dan kita tidak begitu memberontak sehingga kita mengikat tangan Tuhan sehingga Ia tidak dapat melanjutkan, ini akan terus berlanjut sampai akhir hidup kita. Di satu sisi membuat kita berkata ‘TIDAK!’ kepada kelemahan dan kebodohan kita sendiri, kepada kekosongan dan keadaan kita yang hancur. Itu adalah sisi negatifnya, namun pada sisi positifnya: ketergantungan kita sepenuhnya kepada Tuhan, sehingga jika bukan karena Tuhan, keadaannya akan tidak ada harapan. Itu adalah Petrus, yang mewakili hal baru yang telah datang masuk ini.

Hal ini membawa saya kepada hal yang ingin saya tekankan secara khususnya pada saat ini, dalam terang apa yang baru saja saya katakan, dan di dalam situasi tersebut –kehancuran laki-laki ini.

Apa kata Petrus yang khas di dalam Surat ini? Saya yakin para pelajar Alkitab akan segera memberikannya kepada saya! Ini adalah kata ‘kasih karunia’. Tidak diperlukan waktu lebih dari sepuluh menit untuk membaca Surat ini, dan ketika saudara telah melakukannya, saudara akan telah membaca kata ‘kasih karunia’ sebanyak dua belas kali. Sayangnya kata ini tidak selalu diterjemahkan sebagai ‘kasih karunia’. Saya tidak tahu mengapa para penerjemah mengubah kata yang sama menjadi kata lain di dalam bahasa Inggris. Dua kali mereka telah menerjemahkan kata yang sama ini menjadi ‘dapat diterima’, tetapi, termasuk dua kesempatan itu di mana kata aslinya masih sama, Rasul menggunakan kata ‘kasih karunia’ sebanyak dua belas kali di dalam Surat yang sangat singkat ini.

Saudara tahu bagaimana ia memulai salamnya: “Sesuai dengan rencana Allah, Bapa kita, dan yang dikuduskan oleh Roh, supaya taat kepada Yesus Kristus dan menerima percikan darah-Nya. Kiranya kasih karunia dan damai sejahtera makin melimpah atas kamu” (1 Petrus 1:2).

Kemudian pada ayat 10: “Keselamatan itulah yang diselidiki dan diteliti oleh nabi-nabi, yang telah bernubuat tentang kasih karunia yang diuntukkan bagimu.” Para nabi menantikan apa yang kita miliki, dan inilah dia: kasih karunia yang ditujukan bagi Israel baru ini. Ini adalah warisan Israel baru ini, dan para nabi telah menubuatkannya jauh sebelumnya.

Kita beralih ke pasal 2, dan di sini kita menemukan terjemahan malang lainnya, namun jika kita memahaminya dengan benar, kita memiliki sesuatu yang sangat kaya:

“Sebab ini dapat diterima, jika seorang karena sadar akan kehendak Allah menanggung penderitaan yang tidak harus ia tanggung. Sebab dapatkah disebut pujian, jika kamu menderita pukulan karena berbuat dosa? Tetapi jika kamu berbuat baik dan karena itu kamu harus menderita, maka itu dapat diterima oleh Allah.” (ayat 19, 20).

Sekarang diperbaiki:

“Sebab adalah kasih karunia, jika seorang karena sadar akan kehendak Allah menanggung penderitaan yang tidak harus ia tanggung. Sebab dapatkah disebut pujian, jika kamu menderita pukulan karena berbuat dosa? Tetapi jika kamu berbuat baik dan karena itu kamu harus menderita, maka itu adalah kasih karunia pada Allah.”

Saudara akan segera melihat bahwa Petrus menggunakan kata ‘kasih karunia’ dengan cara yang sangat berbeda dengan Paulus. Paulus sangat sering menggunakan kata ini; memang, ini hampir merupakan kata-katanya yang khas, namun penggunaannya selalu merupakan ‘kasih karunia Allah terhadap kita.’ Kami menyebutnya ‘kebaikan yang tidak pantas’, membenarkan kita, yang tidak benar sama sekali. “Kekayaan kasih karunia-Nya, yang dilimpahkan-Nya kepada kita” (Efesus 1:7, 8).

Petrus memiliki sudut pandang yang berbeda mengenai perkara ini. Tentu saja, ia akan setuju dengan Paulus, sebab seluruh pengalamannya ini didasarkan pada kemurahan Allah terhadapnya. Bayangkan saja kasih karunia Allah terhadap laki-laki ini! Tapi apa yang ia katakan? ‘Dari kasih karunia yang telah ditunjukkan secara luar biasa dalam kasus-ku, aku harus menunjukkan kasih karunia dari diri-ku sendiri secara lahiriah di dalam dunia yang penuh dengan kesulitan dan penderitaan ini. Kasih karunia itu harus mempunyai reaksi terhadap orang-orang dan hal-hal. Kasih karunia yang telah Allah tunjukkan kepadaku itu, sekarang harus kutunjukkan ketika aku berada di bawah tekanan, pencobaan dan kesulitan, didera meskipun aku benar dan melakukan hal yang benar, dan dituduh secara tidak adil dan dibuat menderita. Tidak boleh ada pembalasan. Aku harus menanggungnya dengan sabar.’ Itulah kembalinya kasih karunia – kasih karunia Allah di dalam diri kita sebagai tindakan balasan, guna ‘memberitakan perbuatan-perbuatan-Nya yang besar.’

Itu adalah cara yang luar biasa dalam menggunakan kata ‘kasih karunia’! Tapi ini sangat praktikal – Petrus sangat praktikal. Ia berkata: ‘Lihatlah, kamu sedang diperlakukan secara tidak adil, tidak benar, dan kamu tidak pantas menerima apa yang harus kamu tanggung. Ini bukanlah karena kesalahan di dalam dirimu. Kamu bisa menjadi getir, memberontak, kesal, jika kamu mau. Kamu bisa memberi sebaik yang kamu dapatkan. Kamu bisa membalas.’ Namun Petrus berkata bahwa hal itu merupakan pelanggaran kasih karunia. Jika, pada saat keadaan seperti itu, saudara menerimanya dengan sabar, maka itu adalah kasih karunia. Saudara lihat, kata ‘dapat diterima’ ini adalah sebuah kata yang cukup bagus: “dapat diterima oleh Allah.” Artinya ada di sana, tetapi ini kurang jelas, bukan, tidak sejelas jika ini diterjemahkan dengan benar? ‘Ini adalah kasih karunia dengan Allah: menderita secara tidak wajar dan menerimanya dengan sabar.’

Sekarang kita semuanya telah dihadapkan dengan hal ini! Sifat kemanusiaan kita ini tidak seperti itu! Sifat saya tidak, bagaimana pun juga. Apakah sifat saudara demikian? Apakah saudara memiliki sifat bertarung? Apakah saudara memiliki kekuatan diri? Apakah saudara memiliki kekuatan jiwa? Apakah saudara berkata: ‘Aku tidak akan menerima itu dengan diam-diam?’ Ya, itulah apa yang ada di sini. Kasih karunia adalah: menerimanya dengan diam-diam dan membiarkannya berjalan terus.

Ini adalah tatanan hal-hal yang baru, bukan? Sangat berbeda dari Israel lama! Ini adalah sebuah dunia yang baru: kasih karunia dalam reaksinya terhadap penganiayaan, penafsiran yang keliru, fitnah dan segala sesuatu yang tidak adil dan tidak benar, menjaga lidah saudara tetap tenang, bibir saudara tetap tertutup dan menolak untuk membenarkan diri saudara sendiri. Ini adalah kasih karunia dengan Allah.

Di dalam bab terakhir, saya menyebutkan satu hal lain dan saya tidak akan membahasnya kembali secara rinci – hubungan antara suami dan isteri dan isteri dan suami ketika situasinya sulit karena salah satu dari mereka mungkin harus menghadapi sesuatu yang sulit dari yang lain. Rasul, seperti yang saudara ingat, berkata (di dalam pasal 3:7) bahwa dasar dari hubungan itu adalah bahwa mereka adalah ‘teman pewaris dari kasih karunia yaitu kehidupan.’ Jika mereka adalah benar, keduanya telah dilahirkan kembali, mereka memiliki dasar yang sama – hidup Ilahi, kasih karunia hidup, dan mereka harus selalu berusaha untuk bereaksi kepada satu sama lain di atas dasar yang sama tentang apa yang adalah dari Tuhan di dalam diri masing-masing. Ini tidak selalu mudah, tetapi ini adalah jenis kehidupan yang sangat berbeda dari dunia lama.

Kami hanya menyebutkan itu, dan melanjutkan ke dalam pasal 4:10: “Pengurus yang baik dari kasih karunia Allah.” Di sini kita kembali berada pada dasar yang sangat praktikal. Tuhan telah memberi saudara semacam anugerah. Ini bisa saja berupa anugerah yang bersifat sementara, seperti cara, atau anugerah pengaruh, atau bisa jadi saudara mempunyai semacam anugerah rohani. Apa pun itu, saudara mempunyai, oleh kasih karunia Allah, beberapa sumber daya, sesuatu di tangan saudara, sesuatu yang saudara miliki. Ini adalah sesuatu yang Tuhan telah berikan kepada saudara, dan Ia telah memberikannya kepada saudara untuk digunakan. Apa pun itu, ini adalah penatalayanan yang telah dipercayakan kepada saudara, dan penatalayanan tersebut harus dilaksanakan berdasarkan prinsip kasih karunia. Kasih karunia tidak berarti menyimpan di dalam diri sendiri apa yang saudara miliki, dan menahan dari orang lain, apa yang bisa saudara berikan. Ini tidak berarti membiarkan orang lain menderita kerugian ketika saudara dapat melakukan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan mereka, apa pun kebutuhannya, rohani atau jasmani. Kasih karunia di dalam diri kita menuntut agar kita melakukan segala yang bisa kita lakukan untuk memastikan bahwa orang lain dilayani. Itulah kasih karunia – ‘sebagai pengurus yang baik dari kasih karunia Allah’, yang hanya berarti bahwa kepada yang satu kasih karunia Allah telah memberikan ini, dan kepada yang lain itu. Ini tidak sama bagi semua orang, tetapi setiap orang di Israel baru ini mempunyai sesuatu untuk diberikan.

Saya dapat membawa saudara kembali ke Perjanjian Lama dan mengilustrasikannya. Bagaimana dengan pembangunan Kemah Suci? Setiap orang harus memberikan sesuatu – emas, perak, kayu, kain. Setiap orang mempunyai sesuatu untuk disumbangkan, dan mereka dipanggil untuk melayani apa yang mereka miliki. Sekarang kita telah memasuki Israel rohani yang baru ini, dan apa yang kita miliki yang bermanfaat bagi orang lain? Ini adalah pelanggaran terhadap prinsip kasih karunia untuk menyimpannya hanya untuk diri kita sendiri dan tidak membiarkan orang lain memilikinya. Ya, mungkin hal ini terlalu jelas untuk perlu ditekankan, tetapi saudara lihat bahwa Petrus menggunakan kata ‘kasih karunia’ dalam hubungan ini, yang berarti bahwa setiap anggota Israel rohani harus menjadi anggota yang berkontribusi dalam beberapa hal atau cara, dan bukan sekedar yang menerima saja. Ada terlalu banyak penumpang di dalam Jemaat, terlalu banyak yang hanya duduk dengan mulut terbuka, menerima semuanya, dan tidak pernah memberikan apa pun. Saya harap itu tidak berlaku bagi siapa pun di sini. Kasih karunia berarti bahwa kita adalah umat yang memberi. Kita mempunyai sesuatu untuk diberikan, dan kita memberikannya, dan kita seharusnya mempunyai sesuatu untuk diberikan.

“Demikian jugalah kamu, hai orang-orang muda, tunduklah kepada orang-orang yang tua. Dan kamu semua, rendahkanlah dirimu seorang terhadap yang lain, sebab: “Allah menentang orang yang congkak, tetapi mengasihani orang yang rendah hati.” (ayat 5). Saya sangat menyukai ini! Saudara akan melewatkannya sebagian besarnya, kecuali untuk pernyataan dan kata-kata yang terlihat jelas di permukaan, kecuali saudara tahu persisnya apa yang ada di balik ini di dalam bahasa aslinya, dan kemudian saudara akan langsung melihat apa yang sedang Petrus bicarakan. Seandainya saya memberikannya kepada saudara: “Saudara sekalian semuanya kenakanlah celemek kerendahan hati untuk saling melayani.” Sekarang di manakah saudara berada? Saudara kembali kepada Yohanes 13, ketika Yesus menanggalkan jubah-Nya dan mengenakan celemek hamba – mengikat pinggang-Nya dengan celemek hamba. Petrus tidak melupakan hal itu! “Sekarang sekalian semuanya kenakanlah celemek seorang hamba untuk saling melayani; sebab Allah menentang orang yang congkak.” Petrus sangat, sangat dekat dengan hal itu pada saat itu: “Jangan pernah membasuh kakiku!” Mengapa tidak? Petrus terlalu congkak. “Allah menentang orang yang congkak, tetapi mengasihani orang yang rendah hati.” Kasih karunia adalah mengenakan celemek hamba untuk melayani satu sama lain. Perlukah kami mengatakan lebih banyak lagi tentang hal itu? Inilah kasih karunia Allah yang sebenarnya.

“Dan Allah, sumber segala kasih karunia, yang telah memanggil kamu dalam Kristus kepada kemuliaan-Nya yang kekal, akan melengkapi, meneguhkan, menguatkan dan mengokohkan kamu, sesudah kamu menderita seketika lamanya. Ialah yang empunya kuasa sampai selama-lamanya!” (ayat 10, 11).

Kasih karunia menang melalui penderitaan. Petrus sudah berada di bagian akhir Surat ini sekarang dan hanya akan menggunakan satu kali lagi kata ini. Tetapi ia telah mengatakan banyak hal di dalam Surat ini tentang penderitaan – penderitaan Kristus yang dialami oleh anggota-anggota Israel baru ini … “Janganlah kamu heran akan nyala api siksaan yang datang kepadamu sebagai ujian, seolah-olah ada sesuatu yang luar biasa terjadi atas kamu” (4:12). Ya, ia memiliki banyak yang dapat dibicarakan tentang penderitaan, dan mereka sungguh adalah penderitaan! Saudara mungkin tidak tahu bahwa ketika ia menulis Surat ini, penganiayaan besar-besaran di bawah pemerintahan Nero telah terjadi. Paulus dipenggal, dan berapa lama waktu yang ada di antara peristiwa itu dan Petrus yang disalibkan, kami tidak tahu, tetapi ia ingat dan menyebutkannya di sini, di dalam 2 Petrus 1:14, bahwa ia harus menanggalkan kemah tubuhnya, sebagaimana yang telah diberitahukan kepadanya oleh Yesus Kristus. Dan di manakah Tuhan menunjukkan hal itu kepadanya? Di dalam Yohanes 21:18: “Sesungguhnya ketika engkau masih muda engkau mengikat pinggangmu sendiri dan engkau berjalan ke mana saja kau kehendaki, tetapi jika engkau sudah menjadi tua, engkau akan mengulurkan tanganmu dan orang lain akan mengikat engkau dan membawa engkau ke tempat yang tidak kau kehendaki.” Dan hal ini dikatakan-Nya untuk menyatakan bagaimana Petrus akan mati dan memuliakan Allah.” Meskipun ini tidak tercatat dalam Perjanjian Baru, tradisinya cukup kuat bahwa Petrus disalibkan. Perbedaan antara kematian Paulus dan kematian Petrus adalah ini: orang Roma tidak dapat menyalibkan warga negara Roma, dan Paulus adalah warga negara Roma, sehingga ia tidak dapat disalibkan. Tetapi siapa pun yang berasal dari bangsa lain dapat disalibkan, sehingga Petrus disalibkan dan Paulus dipenggal.

Jadi sekarang adalah masa penderitaan. Paulus menghadapi penderitaan terbesarnya dan Petrus akan segera menghadapinya. Itu adalah suatu masa ketika semua orang Kristen di mana pun dianiaya dengan kejam, namun di sini Petrus berkata: ‘Melalui penderitaan yang singkat ini akan ada kasih karunia yang cukup untuk membuat kita menang.’ Kasih karunia menang dalam penderitaan! Saya akan mengatakan bahwa kita tidak selalu sadar akan kasih karunia yang menang itu, namun apa yang dapat saya katakan adalah ini: Setelah hidup yang cukup panjang, dan mengetahui sedikit tentang hal ini, keajaiban dari kemenangan tersebut adalah bahwa kita masih ditemukan berjalan terus dengan Tuhan, ketika seratus kali, jika ini telah diserahkan kepada kita, kita akan telah keluar. Ini adalah hal yang mengerikan untuk dikatakan, namun ini adalah mungkin untuk datang ke suatu tempat di mana saudara akan mencuci tangan saudara sepenuhnya dari Kekristenan ketika saudara mengetahui keadaan hal-hal yang sebenarnya di dunia Kristen. Ya, itu adalah hal yang mengejutkan untuk dikatakan – tapi jika bukan karena kasih karunia Allah, di manakah kita akan berada melalui semua penderitaan ini? Namun, di sinilah dia: “Akan melengkapi, meneguhkan, menguatkan dan mengokohkan kamu, sesudah kamu menderita seketika lamanya.”

Sekarang, dengan semua tentang kasih karunia di dalam Surat ini, apa itu kata terakhirnya? “Bertumbuhlah dalam kasih karunia dan dalam pengenalan akan Tuhan dan Juruselamat kita, Yesus Kristus” (2 Petrus 3:18). ‘Bertumbuhlah di dalam kesabaranmu, di dalam ketabahanmu, di dalam sikap diammu ketika berada di bawah provokasi, di dalam penderitaanmu yang berkepanjangan, di dalam kesulitan-kesulitan dalam hubunganmu – biarlah hal itu bertumbuh di dalam kasih karunia.’

Saudara akan melihat betapa tergesa-gesanya seseorang harus menjadi dan betapa banyak yang harus ditinggalkannya, tetapi itu sudah cukup! Saya dapat mengatakan lebih banyak lagi dalam satu jam daripada yang dapat saudara penuhi seumur hidup!

Marilah kita pergi dan memohon kasih karunia kepada Tuhan, agar firman yang telah Ia sampaikan kepada kita akan benar-benar terjadi, seperti yang terjadi dengan laki-laki ini, di dalam diri kita sendiri, dan bahwa kita akan menjadi orang-orang yang seperti ini.

Sesuai dengan keinginan T. Austin-Sparks bahwa apa yang telah diterima secara bebas seharusnya diberikan secara bebas, karya tulisannya tidak memiliki hak cipta. Oleh karena itu, kami meminta jika Anda memilih untuk berbagi dengan orang lain, mohon Anda menghargai keinginannya dan memberikan semua ini secara bebas - tanpa d'ubah, tanpa biaya, bebas dari hak cipta dan dengan menyertakan pernyataan ini.